Migrasi Buruh di Asia
Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), ada kira-kira delapan puluh satu juta buruh migran di seluruh dunia, dan dari semua ini, dua puluh dua juta bekerja di Asia. Perempuan merupakan kira-kira setengah dari jumlah seluruh migran di dunia untuk beberapa dasawarsa, termasuk di Asia,
namun pada umumnya merupakan sebagian kecil dari buruh migran. Pola ini telah bergeser sejak akhir tahun 1970an, paling dramatis di Asia. Diperkirakan arus pekerja perempuan Asia berjumlah 800.000 bermigrasi setiap tahunnya, dan jumlah ini terus meningkat.
namun pada umumnya merupakan sebagian kecil dari buruh migran. Pola ini telah bergeser sejak akhir tahun 1970an, paling dramatis di Asia. Diperkirakan arus pekerja perempuan Asia berjumlah 800.000 bermigrasi setiap tahunnya, dan jumlah ini terus meningkat.
Feminisasi migrasi buruh Asia paling menonjol di Indonesia, Filipina, dan Sri Lanka, dimana mayoritas pekerja yang bermigrasi ke luar negeri adalah perempuan. Misalnya, pada tahun 2002, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia, yang bertanggung jawab mengurus kebijakan ketenagakerjaan Indonesia, mencatat bahwa 76 persen dari seluruh buruh migran resmi Indonesia yang berada di luar negeri adalah perempuan. Buruh migran perempuan terpusat pada sektor-sektor yang kurang
mendapat perlindungan dan gajinya rendah seperti pekerjaan rumah tangga dan kerja seks.
Tujuan terpopuler bagi migran Asia telah bergeser dari Timur Tengah ke negara-negara Asia lain yang ekonominya maju pesat pada beberapa dekade terakhir. Pada tahun 1990, untuk setiap buruh migran dari Indonesia, Filipina, atau Thailand yang dipekerjakan di bagian Asia lainnya, terdapat tiga lainnya yang bekerja di Timur Tengah. Hingga tahun 1997, tujuan migrasi seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Hong Kong, dan Korea Selatan telah melampaui Timur Tengah. Negara-negara tersebut mengandalkan buruh migran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja yang muncul ketika angkatan kerja dalam negeri tidak dapat memenuhi permintaan tenaga kerja yang tercipta karena ekonomi mereka yang tumbuh pesat, atau ketika warga negara mereka tidak bersedia mengambil pekerjaan padat karya, upah rendah, dengan kondisi kerja yang buruk.
Meskipun migran Asia mencakup pekerja profesional yang berkeahlian tinggi dalam sektor manajemen dan teknologi, mayoritas terbesar masih tetap para buruh yang dipekerjakan dalam jenis pekerjaan yang bercirikan tiga D: dirty(kotor), difficult (sulit), dan dangerous (berbahaya). Ketidakberdayaan mencari pekerjaan yang layak di dalam negeri sendiri dan dibujuk dengan janji gaji yang lebih tinggi di luar negeri, para migran umumnya memperoleh kerja sebagai buruh di perkebunan dan kawasan konstruksi, pekerja di pabrik-pabrik, dan pekerja rumah tangga di rumah-rumah pribadi. Banyak dari pekerjaan ini bersifat sementara dan tidak aman—sekitar dua juta buruh migran asal Asia memperoleh kontrak kerja jangka pendek setiap tahunnya.