Header Ads

test

Tanggung Jawab Pemegang Saham


Ciri yang sangat menonjol, yang membuat orang lebih memilih PT sebagai bentuk hukum bagi kegiatan bisnisnya adalah dikarenakan Pemegang Saham PT hanya bertanggung jawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. UUPT menegaskan prinsip
tanggung jawab terbatas tersebut dengan menetapkan bahwa Pemegang Saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.[2] Dalam doktrin Common Law, prinsip tanggung jawab terbatas dikenal sebagai konsep “Corporate Veil?, yakni:
“… the separation of the company’s rights and liabilities from those of its members and in particular the fact that the members of a company will usually have no liability for the company’s debts and liabilities.”]
Namun prinsip tanggung jawab terbatas Pemegang Saham tidak berlaku mutlak. Di dalam hukum positif Indonesia, kemungkinan untuk mengecualikan prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dimungkinkan dalam hal-hal sebagai berikut :
Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi :
Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
Pemegang Saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Sebagai perbandingan dengan ketentuan UUPT di atas, yurisprudensi Common Law menyimpulkan adanya tiga doktrin umum bagi kemungkinan dapat dilanggarnya prinsip tanggung jawab terbatas atau dimungkinkannya Piercing The Corporate Veil, yakni :
Doktrin “Instrumentality”, yang pendekatannya mengacu pada 3 (tiga) faktor sebagai berikut :
* Adanya kontrol/pengendalian atas PT, sehingga PT tidak mempunyai eksistensi yang mandiri; dan
* Pengendalian tersebut berpengaruh atas dilakukannya tindakan melalaikan kewajiban; dan
* Atas tindakan lalai tersebut menimbulkan kerugian. Doktrin “Alter Ego”, yang berpendapat bahwa Piercing The Corporate Veil dapat diterapkan dalam hal:
* Kepentingan Pemilik Saham mengalahkan kepentingan PT; dan
* Sulit untuk membedakan atau mengenali entitas pribadi Pemegang Saham dari entitas PT yang bersangkutan.
Doktrin “Identity”, yang menyerahkan permasalahan kesatuan atau pemisahan kekayaan perseroan dalam pembuktian di pengadilan secara per kasus. Tujuan utama dimungkinkannya penghapusan tanggung jawab terbatas suatu PT (Piercing The Corporate Veil), sebagaimana disimpulkan dari Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UUPT, adalah agar PT didirikan tidak semata-mata sebagai alat yang dipergunakan untuk memenuhi tujuan pribadi Pemegang Saham (alter ego), sehingga terjadi pembauran harta kekayaan pribadi Pemegang Saham dan harta kekayaan PT, atau antara harta kekayaan Pemegang Saham dan harta kekayaan PT tidak dapat lagi dibedakan.
Permasalahan lain yang mungkin timbul, yang pada gilirannya menghambat pelaksanaan GCG berkenaan dengan pengaturan Pemegang Saham adalah adanya ketentuan yang mewajibkan pemegang saham minimal 2 (dua) orang. Ketentuan tersebut pada akhirnya cenderung mengakibatkan menjamurnya lembaga “nominee? atau “dummy? yang akan menambah “overhead cost?, serta tidak sejalan dengan kecenderung perkembangan hukum perseroan yang memungkinkan pendirian perseroan oleh 1 (satu) orang. Artinya ketentuan wajibnya pemegang saham sejumlah minimal dua orang akan mengakibatkan manipulasi berupa “pemegang saham boneka?.
Powered by Blogger.